ASPEK PENDIDIKAN BAHASA ARAB DAN METODE PADA MASA BANI UMAYYAH
Disusun oleh:
Nama : Muthmainnah
Nim : 201003084
Email: 201003084@student.ar-raniry.ac.id
Dosen Pengampu : Dr. T.
Lembong Misbah, S. Ag, M.A.
Program Pasca Sarjana
Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry
Darussalam, Banda Aceh
Abstrak: Aspek
Pendidikan Bahasa Arab Dan
Metode Pada Masa Bani Umayyah Artikel ini
bertujuan untuk mengeksplorasi aspek pendidikan yang telah membangun peradaban
di era peradaban bani Umayyah. Aspek pendidikan yang berkembang pada masa Bani
Umayyah masih kental di bidang ilmu agama, seperti ilmu Al-Quran, ilmu Hadits,
fiqh, Bahasa Arab, Syair Arab, dan mulai berkembang ilmu lainnya seperti ilmu
filsafat, kimia, kedokteran, astronomi dan ilmu hitung akibat dari program
Arabisasi. Lembaga pendidikan mengalami banyak kemajuan, di era Umayyah juga menghasilkan bangunan peradaban
yang layak untuk dijadikan sebagai bahan studi.
Kata Kunci: Bani Umayyah, Bahasa arab, Pendidikan
Pendahuluan
Pendidikan
pada dasarnya adalah media dalam mendidik dan mengembangkan peotensi-potensi
kemanusiaan yang primordial. Pendidikan sejatinya adalah gerbang untuk
mengantar umat manusia menuju peradaban yang lebih tinggi dan humanis dengan
berlandaskan pada keselarasan hubungan manusia, lingkungan, dan sang pencipta.
Pendidikan adalah sebuah ranah yang didalamnya melibatkan dialektika
interpersonal dalam mengisi ruang-ruang kehidupan; sebuah ranah yang menjadi
pelita bagi perjalanan umat manusia, masa lalu, masa kini, dan masa akan
datang.[1]
Islam
adalah agama yang menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital. Hal
ini ditandai dengan lima ayat pertama dalam surat al-Alaq, yang diwahyukan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad dimulai dengan perintah untuk membaca (iqra’). Di
samping itu, banyak ayat al-Quran yang kandungannya berkaitan dengan ilmu.
Sejarah
pendidikan Islam pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah Islam.
Karena itu, periodisasi sejarah pendidikan Islam dapat dikatakan sama dengan
periodisasi dalam sejarah Islam itu sendiri. Harun Nasution1 membagi perjalanan
sejarah Islam secara umum ke dalam tiga bagian besar yaitu Periode klasik, yang
dimulai (650-1250 M) yang digambarkan sebagai era umat Islam mencapai
prestasi-prestasi (puncak kejayaan). Periode pertengahan dimulai sejak
runtuhnya Dinasti Abbasiyah (1250- 1800 M), dengan ciri-ciri kekuasaan politik
terpecah-pecah dan saling bermusuhan, atau dikenal dengan masa stagnasi
pemikiran Islam. Dan periode modern (1800 sampai sekarang) yang dikenal dengan
era kebangkitan Islam.[2]
Sehubungan
dengan periodisasi tersebut, tulisan ini membahas bagaimana perkembangan aspek
pendidikan yang dibangun dalam peradaban islam pada masa Bani Umayyah.
Pembahasan
A.
Berdirinya Bani Umayyah
Nama Bani Umayyah berasal dari nama “Umayyah Ibn Abdi Syams Ibnu
Abdi Manaf, yaitu salah seorang pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman
Jahiliyah. Dinasti Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Aby Sufyan, dan
berkuasa sejak tahun 661 sampai tahun 750 Masehi dengan ibukota Damaskus. Ia
juga mengganti sistem pemerintahan muslim yang semula bersistem musyawarah
(demokrasi) menjadi sistem Monarchy Herdity (Kekuasaan turuntemurun).
Pendirian Bani Umayyah dilakukanya dengan cara menolak Ali menjadi
khalifah, berperang melawan Ali dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak
Ali yang secara politik menguntungkan Mu’awiyah. Keberuntungan Muawiyyah
berikutnya adalah keberhasilan pihak Khawarij membunuh khalifah Ali r.a.
sehingga jabatan khalifah setelah Ali dipegang oleh putranya yaitu Hasan ibn Ali
selama beberapa Bulan akan tetapi karena tidak didukung pasukan yang kuat
sedangkan pihak Muawiyah semakin kuat akhirnya dia melakukan perjanjian dengan
Hasan ibn Ali, isi perjanjian itu adalah bahwa pergantian pemimpin akan di
serahkan kepada umat islam setelah masa kepemimpinan Muawiyah berakhir.
Perjanjian ini dibuat pada tahun 661 M (41 H.) dan tahun ini disebut ‘am
jamaat, karena perjanjian ini mempersatukan umat islam menjadi satu
kepemimpinan politik yaitu kepemimpinan muawiyyah.
Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan. Ia
melakukan konsolidasi kekuasaan di Syiria yang rakyatnya memang sudah solid
terhadap Muawiyah, dengan memindahkan ibu kota ke Damaskus. Dari sinilah
kemudian babak baru dinasti bani Umayyah dimulai.[3]
Umayyah yang berpusat di Damaskus berlangsung selama 91 tahun dan diperintah
oleh 14 orang khalifah. Mereka itu adalah: Muawiyah (41 H/661 M), Yazid I (60
H/680 M), Muawiyah II (64 H/683 M), Marwan I (64 H/685 M), Abdul Malik (65
H/685 M), Walid I (86 H/705 M), Sulaiman (96 H/715 M), Umar II (99 H/717 M),
Yazid II (101 H/720 M), Hisyam (105 H/724 M), Walid II (125 H/743 M), Yazid III
(126 H/744 M), Ibrahim (126 H/744 M), dan Marwan II (127-132 H/744-750).[4]
Dinasti Umayyah dibedakan menjadi dua: pertama, Dinasti umayyah
yang dirintis oleh Muawiyah Bin Abi Sufyan (661-680M) yang berpusat di Damaskus
(Syiria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad yang mengubah system
pemerintahan dari khilafah menjadi monarki (mamlakat). Kedua, Dinasti Umayah di
Andalusia, yang awalnya merupakan wilayah taklukan Umayyah yang di pimpin
seorang gubernur pada zaman Walid Bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M) yang
kemudian menjadi kerajaan.[5]
B. Khalifah Pada Masa Bani Umayyah
Pemerintahan
dinasti Umayyah berasal dari nama Umaiyah ibn Abu Syam ibn Abdi Manaf,46
pemerintahan ini berkuasa selama selama kurang lebih 91 tahun (41-132 H atau
661-750 M). Khalifah Muawiyah merupakan khalifah pertama dari 14 khalifah Bani
Umayyah. Diantara 14 orang khalifah Bani Umayyah sebagai khalifah memiliki
pengaruh yang kuat dan sebagiannya lagi merupakan khalifah-khalifah yang lemah.
Adapun khalifah-khalifah Bani umayyah adalah:
1.
Muawiyah (41-60 H / 661-679 M)
2.
Yazid I / (60-64 H / 680-683 M)
3.
Muawiyah II (64H / 683 M)
4.
Marwan (64-65 H / 683-684 M)
5.
Abdul Malik (65-86 H / 684-705 M)
6.
Al Walid (86-98 H / 705-714 M)
7.
Sulaiman (96-99 H / 615-717 M)
8.
Umar bin Abdul Aziz (99-101 H / 717-719 M)
9.
Yazid II (101-105 H / 719-723 M)
10.
Hisyam (105-125 H /723-742 M)
11.
Al Walid II (125-126 H / 742-743 M) l
12.
Yazid III (126 H / 743 M)
13.
Ibrahim (126-127 H / 743-744 M)
14. Marwan II (127-132 H / 744-749 M)
Dari
sekian banyak khalifah yang berkuasa pada masa dinasti Umayyah hanya beberapa
khalifah saja yang dapat dikatakan khalifah besar yaitu Muawiyah ibn Abi Soyan,
Abd al Malik ibn Marwan, Al Walid ibn Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan
Hasyim ibn abd al Malik. Pada awalnya pemerintahan Dinasti Umayyah bersifat
demokrasi lalu berubah menjadi feodal dan kerajaan. Pusat pemerintahannya
bertempat di kota Damaskus, hal itu hal ini dimaksudkan agar lebih mudah
memerintah karena Muawiyah sudah begitu lama memegang kekuasaan di wilayah
tersebut serta ekspansi territorial sudah begitu luas.
Berbagai
kemajuan telah diperoleh pada masa dinasti ini dalam bidang administrasi
misalnya, telah terbentuk berbagai lembaga administrasi pemerintahan yang
mendukung tambuk pimpinan dinasti Umayyah. Banyak terjadi kebijaksanaan yang
dilakukan pada masa ini, di antaranya;
a.
Pemisahan kekuasaan
b.
Pembagian wilayah
c.
Bidang administrasi pemerintahan
d.
Organisasi keuangan
e.
Organisasi keteraturan
f.
Organisasi kehakiman
g.
Sosial dan budaya
h.
Bidang seni dan sastra
i.
Bidang seni Rupa
j.
Bidang Arsitektur.
Walaupun
kecenderungan perhatian pemerintahan saat itu berada pada perluasan wilayah
kekuasaan Islam, Namun perhatian terhadap perkembangan keilmuan masih terlintas
dibenak para khalifah, minimal mereka masih memberikan perhatian kepada para
pendidik anaknya. Terlepas dari itu semua pada masa itu ada beberapa khalifah
seperti Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan Dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz yang
sangat menaruh perhatian penuh pada perkembangan keilmuan. Yang jelas mesjid
saat itu, dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu. Dengan penekanan ini, di
mesjid diajarkan beragam ilmu mulai dari tafsir, hadist, fiqih, sastra,
sejarah, teologi, syair dan lain sebagainya dengan menggunakan metode debat. Dalam
sejarah Islam masa ini merupakan masa pendidikan masjid yang paling cemerlang.
C. Pendidikan Islam Dan
Pengajaran Bahasa Arab Pada Masa Dinasti Umayyah
Untuk
memetakan sejarah pendidikan di suatu kawasan dalam suatu kurun tertentu, ada beberapa
sudut pandang yang mungkin dapat dijadikan kerangka deskripsi sekaligus pisau
analisisnya, antara lain pendidikan sebagai sistem, pendidikan sebagai
institusi, dan pendidikan sebagai sektor kehidupan. Pada tulisan ini, penulis
mencoba memetakan praktek pendidikan Islam di masa pemerintahan Bani Umayah
sebagai sebuah sistem.
Sebagai
sebuah sistem, pendidikan sebenarnya dapat – dan seyogyanya dilihat dari beberapa
aspek yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu aspek tujuan, metode, materi
(kurikulum), pendidik, anak didik, instrumen
pendidikan, dan lingkungan. Akan tetapi, terkait dengan sejarah
pendidikan Islam di masa Bani Umayah, sistem pendidikannya masih cukup
sederhana, sehingga relatif sulit untuk memetakannya sesuai lokus dan pandangan
masa kini.
Dari
penelusuran terhadap beberapa literatur kesejarahan, peta pendidikan Islam di
masa pemerintahan Bani Umayah ini setidaknya dapat dipahami dari tiga sudut
pandang, yaitu materi pendidikan (aspek ontologis), bentuk pendidikan yang
mencakup metode, anak didik, pendidik, instrumen, dan lingkungan (aspek
epistemologis), dan tujuan pendidikan (aspek aksiologis). Dari tiga sudut
pandang ini, diharapkan tergambar peta sistem pendidikan Islam di masa Dinasti Umayah.
Berikut
akan dikemukakan secara sederhana aplikasi dari tiga sudut pandang di atas:
1.
Segi Kurikulum atau Materi Pendidikan (aspek ontologis)
Secara
ontologis, pendidikan dapat dipahami dari dua ranah, yaitu ranah personal dan
ranah sosial. Pendidikan pada ranah personal memiliki fokus utama pada
pengembangan potensi dasar manusia; dan pada ranah sosial memfokuskan kepada
pewarisan nilai-nilai budaya dari satu generasi kepada generasi lain agar
nilai-nilai itu terus hidup di masyarakat.
Pada
masa Pemerintahan Bani Umayah, ontologi pendidikan Islam ini tergambar dari
materi pendidikan yang bersumber dari Alquran dan hadis. Kedua sumber ajaran
Islam ini diajarkan atau ditransmisikan melalui sistem periwayatan (al-ma‟tsur) yang ketat. Oleh karenanya,
istilah menuntut ilmu di masa itu lebih identik dengan menuntut atau mencari dan mengkonfirmasikan hadis-hadis, sehingga
setiap materi yang belakangan termasuk dalam disiplin tafsir dan „ulum al-Qur‟an, fiqh, akidah, akhlak (tasawuf), tata bahasa Arab (nahwu), dan tarikh (sejarah) di kala itu masih sangat tergantung dengan sistem
periwayatan ini.[6]
Pada
masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-Maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu
kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan
pada murid dalam tingkat tertentu.
Berikut ini adalah macam- macam kurikulum yang
berkembang pada masa bani Umayyah:
1. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat
kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk
semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang
terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran
yang terdapat pada kurikulum.
Kedua, kesukaran diantara membedakan
fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang
mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan. Sebelum
berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak
hanya satu tingkat yang bermula di Kuttab
dan berakhir di diskusi halaqah.
Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Dilembaga Kuttab biasanya diajarkan membaca dan
menulis disamping Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.[7]
2. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum
pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi
tergantung pada syaikh yang mau
mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran
tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti
kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Menurut
Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan
kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka
mengenai Alquran dan agama.[8]
2.
Metode Pendidikan (Aspek Epistemologis)
Adapun
dalam tinjauan filsafat, secara epistemologis di dalam filsafat Islam dikenal
istilah metode bayani, burhani, dan „irfani. Terkait dengan pembahasan
makalah ini, pendidikan Islam di masa Dinasti Umayah tampaknya masih didominasi
oleh metode bayani, terutama selama abad I H.
di mana pendidikan bertumpu dan bersumber pada nash-nash agama yang kala
itu terdiri atas Alquran, sunnah, ijmak, dan fatwa sahabat. Baru pada masa-masa
akhir pemerintahan Umayah metode burhani mulai berkembang di dunia Islam, seiring
dengan giatnya penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dengan
metode bayani, pendidikan Islam kala itu lebih bersifat eksplanatif, yaitu
sekedar menjelaskan ajaran-ajaran agama saja. Secara khusus, metode ceramah dan
demonstrasilah yang banyak digunakan dalam institusi-institusi pendidikan yang
ada di zaman itu. Kompetisi ilmiah yang ada lebih didominasi oleh sejauh mana
kemampuan seseorang untuk menelusuri mata rantai ilmu atau pemahaman keagamaan
yang dimilikinya.
Seperti
disinggung di atas, masa Dinasti Umayah adalah seiring dengan masa sahabat
kecil (junior) atau tabi’in besar (senior) yang secara keilmuan lebih dicirikan
dengan penyebaran hadis (intisyâr
al-riwâyah) ke luar jazirah Arab, bahkan ke luar Timur Tengah. Dalam konteks
ini, terjadi perkembangan yang luar biasa dibandingkan pada masa khulafa al-rasyidin. Usaha untuk mencari
dan menghafal hadis lebih digalakkan lagi, sehingga di beberapa daerah
kekuasaan Islam telah didirikan perguruan untuk mengajarkan Alquran dan hadis
Nabi saw. Bentuk kelembagaan pendidikan Islam kala itu sebenarnya masih
meneruskan bentuk-bentuk yang dikenal sebelumnya, yaitu Kuttab dan halaqah.
Sedangkan lembaga pendidikan yang relatif baru
kala itu adalah majelis sastra dan pendidikan privat di istana. Adapun madrasah
belum dikenal dalam pengertian sekarang, meskipun sering ditemukan istilah
madrasah tafsir atau madrasah tasawuf.
Melihat
dari paparan sejarah di atas dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran yang
dilakukan pada masa dinasti umayyah adalah metode ceramah halaqah, dan demonstrasi. Kemudian dikarenakan adanya penggalakkan
pencarian hadis-hadis yang tersebar pada masa itu maka dapat pula dikatakan
selain metode ceramah dan demonstrasi adapula metode menghafal dan metode
rihlah guna bepergian mencari hadis Nabi Muhammad saw.
3.
Lembaga Pendidikan
Berikut
akan dikemukakan lembaga-lembaga atau pusat-pusat pendidikan Islam di masa
Dinasti Umayah yang mencakup, Kuttab,
halaqah (mesjid), privat istana,
majelis sastra, dan perpustakaan.
1)
Kuttab
Kuttab secara
kebahasaan berarti tempat belajar menulis. Istilah sejenisnya adalah maktab.10
Di dalam sejarah pendidikan Islam, Kuttab
merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Alquran serta belajar
pokok-pokok ajaran Islam. Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik, di samping mengajarkan
Alquran mereka juga mengajar menulis dan tata bahasa serta tulisan. Di samping
belajar menulis dan membaca, murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab,
cerita-cerita Nabi, hadis dan pokok agama.[9]
Menurut
Samsul Nizar, jika dilihat di dalam sejarah pendidikan Islam pada awalnya
dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:
(1) Kuttab
berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca
(2) Kuttab
tempat pendidikan yang mengajarkan Al Quran dan dasar-dasar keagamaan.[10]
Peserta
didik dalam Kuttab adalah anak-anak.
Para guru yang merupakan ulama atau setidaknya orang yang ahli dalam membaca
Alquran tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian anak miskin
yang belajar di Kuttab memperoleh
pakaian dan makanan secara gratis. Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang
sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.[11]
2) Halaqah (mesjid)
Pada
Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan
tingkat tinggi setelah Kuttab. Materi
pendidikannya meliputi Alquran, tafsir, hadis dan fiqh. Juga diajarkan
kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan
(astronomi). Di antara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam
perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas
ilmiah termasuk sya’ir, sejarah bangsa terdahulu, diskusi dan pembahasan akidah
terutama sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan keagamaan[12]
Pada
Dinasti Umayyah ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat
yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Hal ini misalnya dapat dilihat pada
halaqah-halaqah di Mesjid Nabawi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama
besar. Hal ini misalnya dapat dilihat pada halaqah-halaqah kecil pada paroh akhir abad I H
di Mesjid Nabawi. Sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam
ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya, seperti Hasan al-Bashri dengan halaqah besarnya di Mesjid Bashrah, atau
Sa’id ibn al-Musayyab di Mesjid Nabawi.
Orang-orang
yang menjadi murid pada lembaga halaqah adalah
orang dewasa tanpa dibatasi oleh usia. Bahkan, sebagian anak-anak yang sudah
menyelesaikan pendidikan dasar di Kuttab juga
diperkenankan untuk mengikuti pengajian-pengajian halaqah.
Umumnya
pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Kuttab atau di Masjid tingkat menengah.
Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar bersama-sama.
3) Pendidikan Privat Istana
Bagi
orang yang berkemampuan, terlebih khusus bagi kalangan istana, mereka biasa
mendidik anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan
guru-guru yang didatangkan secara khusus pula. Bentuk pendidikan semacam ini
sebenarnya dapat dilihat benang kesinambungan-nya dengan tradisi pra Islam di
mana orang- orang Arab hadhari (kota)
sering mengirim anak-anak mereka sejak bayi sampai usia mumayyiz ke pedalaman
(perkampungan Arab badawi) guna
memperoleh didikan yang lebih alami dan mampu berbahasa Arab seara lebih fasih.
Bentuk pendidikan semacam ini disebut badiyah,
yang dalam makna harfiahnya adalah dusun atau tempat tinggal orang-orang Arab
pedalaman (badawi), namun dimaksudkan
di sini sebagai pusat pendidikan bahasa Arab yang murni dan alami.
Di
masa Nabi dan khulafa al-Rasyidin, tradisi ini tidak begitu tampak lagi. Namun,
pada masa Dinasti Umayah, tradisi ini kembali muncul, namun sifatnya tampak
lebih terbatas di kalangan bangsawan, dan polanya pun sudah berubah, karena
para pendidik yang diundang ke istana untuk mendidik anak-anak bangsawan di
dalam istana.
4) Majelis
Sastra
Majelis
sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dengan hiasan
yang indah dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Majelis
sastra merupakan tempat diskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai
tempat berdiskusi mengenai urusan politik. Jadi, materi pendidikannya lebih
khusus dan cenderung eksklusif. Perhatian penguasa Ummayyah memang sangat besar
pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan
Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa,
sehingga turut memicu keberlangsungan lembaga pendidikan yang berbentuk majelis
sastra ini.
Usaha
yang tidak kalah pentingnya pada majelis-majelis sastra di masa Dinasti Umayyah
ini adalah dimulainya penterjemahan ilmu- ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa
Arab, seperti yang mulai dirintis ketika Khalid ibn Yazid memerintahkan
beberapa sarjana untuk menerjemahkan karya-karya tulis dari bahasa Yunani dan
Qibti (Mesir) ke dalam Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq. Aktivitas penerjemahan ini
dimulai sejak zaman pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah selaku khalifah II.
4.
Segi Tujuan Pendidikan (Aspek Aksiologis)
Dari
segi tujuan, pendidikan Islam di masa Bani Umayah dapat dikatakan masih
merupakan kelanjutan dari masa khulafa al-Rasyidin, yang sebagaimana dikatakan
oleh Samsul Nizar, secara ideal dan global tujuan pendidikan Islam yang
berkembang kala itu masih relatif seragam, yaitu bertujuan sebagai wujud
pengabdian baik secara vertikal kepada Allah swt maupun secara horisontal
kepada manusia dan alam.
Adapun
secara khusus (praktis-pragmatis), tujuan pendidikan di masa itu tergantung
jenjang pendidikan yang ditempuh, yaitu:
·
Pada
jenjang Kuttab, tujuan pendidikan
adalah untuk memenuhi kebutuhan keilmuan dasar agama dan keilmuan serta
kecakapan hidup sehari-hari seperti membaca, menulis, dan berhitung.
·
Pendidikan
privat istana juga memiliki tujuan seperti Kuttab,
hanya saja pendidikan istana juga menekankan pada penguasaan bahasa Arab yang fasih.
·
Pada
jenjang halaqah, karena kebanyakan
yang diajarkan adalah ilmu- ilmu syar‟i,
maka pendidikan bertujuan untuk mendalami masalah- masalah agama yang bersifat
praktis bagi kehidupan sehari-hari.
·
Pada
bentuk majelis sastra, pendidikan secara umum bertujuan untuk mendalami
masalah-masalah di bidang sastra dan sejarah, di samping untuk mengevaluasi wacana-wacana
keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.[13]
Di
samping itu, karena pendidikan di masa ini belum banyak dipengaruhi oleh
pemerintah, maka watak pendidikan yang ada lebih bersifat alami dan kultural.
Dari perspektif aksiologis semacam ini, bisa dikatakan tidak ada syarat formal
yang berlaku ketat bagi seorang murid untuk menuntut ilmu yang secara riil
sering menghalangi atau membelokkan niat dan tujuan seseorang.
Adapun
dari pengajaran bahasa Arab lebih bertujuan untuk memahami materi-materi syi‟ir dan penerjemahan sehingga
orang-orang non Arab yang ingin mempelajari bahasa Arab tidak terikat dengan
materi tertentu. Mereka bisa mempelajari bahasa Arab melalui interaksi langsung
dan mengunjungi lembaga- lembaga pendidikan tersebut di atas.
D. Kaitannya dengan Pengajaran Bahasa Arab
Sejarah
mencatat bahwa bahasa Arab mulai menyebar ke jazirah Arabia sejak abad ke-1
Hijriah atau abad ke-7 Masehi, karena bahasa Arab selalu terbawa ke manapun
Islam terbang.16 Penyebaran itu meliputi wilayah Byzantium di utara,
wilayah Persia timur, dan wilayah Afrika sampai Andalusia di barat. Pada masa
khalifah Islamiyah itulah bahasa Arab menjadi bahasa resmi untuk keperluan
agama, budaya, administrasi dan ilmu pengetahuan.
Sehingga
menurut Al-Iskandari bahasa Arab telah menjadi alat ekspresi budaya bagi
penduduk Andalusia. Mereka berbicara, menulis surat- surat pribadi, bahkan
mengarang syair-syair dengan bahasa Arab. Pada masa ini pulalah lahir beberapa
ahli tata bahasa Arab yang termasyhur, antara lain adalah Sibawaihi dari aliran
Bashrah dan Abu Ali al-Farisi dari aliran Baghdad.[14]
Bahasa
Arab dipelajari oleh non Arab secara langsung melalui interaksi langsung dengan
penutur asli bahasa Arab yang datang ke negeri mereka dan kepergian mereka ke
pusat-pusat Islam di jazirah Arabia. Orang- orang Arab (pendatang) mulai
berasimilasi dan bersosialisasi dengan pribumi karena kelompok sosial ini
semakin hari semakin bercampur. Pada saat yang bersamaan, penduduk asli
(pribumi) pun kemudian merasa butuh dan berkepentingan untuk mempelajari bahasa
Arab. Alasan mereka setidaknya untuk dapat
saling mengerti dan memahami dalam komunikasi dengan orang-orang Arab yang
bahasanya masih asing bagi mereka. Maka, terbentuklah persatuan dua kelompok
yang masing-masing memiliki perbedaan bahasa, budaya dan kelas sosial.
Pada
saat itu, berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa Arab yang fasih (Arab standar) menunjukkan
ketinggian martabat sosial dan kelas tersendiri di masyarakat. Oleh karenanya,
kalangan pejabat dan penguasa pada saat itu berkepentingan mendidik keturunan
mereka dengan bahasa yang memungkinkan mereka mudah meraih kursi kekuasaan.
Tidak cukup dengan itu, mereka pun mengirim anak-anak dan generasi-generasi
mereka ke wilayah yang dihuni masyarakat Badui di Hijaz. Anak-anak mereka
sengaja dikirim ke Badui untuk mempelajari dan mendalami bahasa Arab yang masih
bersih.
Hal
terpenting pengajaran bahasa Arab pada masa Dinasti Umayyah ini adalah
dikarenakan adanya proses "Arabisasi". Proses ini berjalan lancar
melalui penyebaran Islam. Pada masa ini pula ditata rapi administrasi
professional dan dengan sendirinya bahasa
Arab
menjadi
bahasa
resmi Negara Islam. Orang-orang
pribumi yang ingin bekerja di pemerintahan disyaratkan untuk fasih berbahasa
Arab, dan ini merupakan langkah positif yang cukup passif.
Namun
dari semua yang telah dipaparkan di atas ada satu hal yang menurut penulis
tidak bisa dilewatkan, yaitu antusiasme mereka mempelajari bahasa Arab adalah
karena dorongan agama. Islam yang baru saja mereka peluk, secara tidak memaksa
memotivasi mereka untuk mendalami Alquran
dan hadits yang berbahasa Arab. Hingga pada akhirnya seiring perkembangan
bahasa Arab yang mengalami pasang surut, bahasa Arab menjadi bahasa dominan
yang di pelajari.
Dengan
melihat sejarah seperti yang telah diuraikan di muka dapatlah penulis katakan
bahwa bahasa Arab dan pengajarannya bermula dari jaman kekhalifahan Islam dan
terus berjalan hingga kini seiring perkembangan yang terjadi dalam pengajaran
bahasa-bahasa non Arab seperti bahasa Latin, bahasa Inggris dan bahasa-bahasa
asing lainnya.
Kesimpulan
Pendidikan
Islam dan pengajaran bahasa Arab pada masa dinasti Umayyah telah mengalami
perkembangan dari masa sebelumnya yaitu masa khulafa al-Rasyidin. Perkembaangan itu terjadi pada berbagai aspek
pendidikan diantaranya adalah aspek kurikulum, materi, metodologi dan aspek
kelambagaan yang semakin bertambah ragam dan kuantitasnya. Pendidikan Islam di
masa pemerintahan Bani Umayah berjalan secara alami pada jalur kultural, dan
belum dapat menembus batas-batas struktural kecuali secara sangat terbatas
seperti pada disiplin sastra dan sejarah.
Adapun
Pengajaran bahasa Arab pada masa itu lebih kepada pendalaman agama Islam
sebagai motivasi beragama dan pendalaman syair-syair Arab melalui disiplin ilmu
Nahwu, perangkat Syair seperti Arudh serta
yang terpenting adalah adanya proses Arabisasi secara nasional.
Saran
Bercermin
pada sejarah pendidikan Islam dan pengajaran Bahasa Arab hendaknya dilakukan
secara mendalam dalam rangka mencerdaskan bangsa yang berkarakter. Negara
adalah bagian terpenting dalam mewujudkan pendidikan dan karakter bangsa. Oleh
sebab itu, bekerjasama dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan bagian dari
majunya pendidikan di masa mendatang. Kerjasama itu antara lain diwujudkan
dalam upaya membangun budaya yang sholeh,
menyiapkan sarana dan prasarana, mengembangkan Kkurikulum, meningkatkan
kepedulian terhadap tenaga pendidik dan kependidikan dan menciptakan lingkungan
kondusif untuk pendidikan. Kontribusi umat Muslim dalam hal ini menjadi harapan
semua pihak.
Daftar Pustaka
Ash-Shallabi, Ali
Muhammad. 2013. Mu’awiyyah bin Abu Sufyan, Prestasi Gemilang Selama 20 Tahun
Sebagai Gubernur dan 20 Tahun Sebagai Khalifah Disertai Studi Kritis terhadap
Fitnah-fitnah yang Terjadi di Zamannya. Jakarta: Darul Haq.
As-Sirjani, Raghib.
2015. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Fathoni, Rifa’i
Shodiq, Pendidiksn Islam Masa Umayyah,
(https://wawasansejarah.com/perkembangan-pendidikan-islam-masa-umayyah/ ,
diakses pada tangga 11 november 2020)
Irfani, Fahmi, Potret Pendidikan Islam Di Masa Klasik, UIKA
Bogor.
Khoiriyah,
2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam dari Arab sebelum Islam hingga
Dinasti-dinasti Islam, Yogyakarta: Penerbit Teras.
Maryam, Siti,
dkk, 2012, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern
Yogyakarta: Penerbit Lesfi.
Muchlis, 2020, Perkembangan
pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah (41-132 H/750 M), Tsaqofah &
Tharikh, V.5 No. 1.
Nata, Abuddin. 2014. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana Prenadamedia.
Rahmad hidayat, 2016, Ilmu Pendidikan Islam, Medan: LPPPI.
Salabi, Ahmad. 1973. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Ulum, Bahrul.
2014. Cordoba Kota Ilmu pada Masa Islam, dalam Islamia, Jurnal
Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol. IX, no. 1.
[1] Rahmad hidayat,
Ilmu Pendidikan Islam, ( Medan: LPPPI, 2016), hal. 4
[2] Muchlis, Perkembangan
pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah (41-132 H/750 M), Tsaqofah &
Tharikh, V.5 No. 1, 2020, hal. 41.
[3] Khoiriyah, Reorientasi
Wawasan Sejarah Islam dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam,
(Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012), hlm.70.
[4] Siti Maryam,
dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta:
Penerbit Lesfi, 2012), hlm. 69
[5] Fahmi Irfani, Potret
Pendidikan Islam Di Masa Klasik, UIKA Bogor, Hlm. 27.
[6] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana), hlm: 131
[7] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992) hal.
113
[8] Fazlur
Rahman, Islam (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1994) hal. 264
[9] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973) hal. 38
[10] Zuhairini,
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta :
Bumi Aksara, 1992) hal. 47
[11] Athiyyah
Al Abrasi, Tarbiyah Al Islamiyah,
Terj. Bustami A. Ghani (Jakarta, Bulan Bintang, 1993) hal. 76
[12]
Zuhairinim Sejarah Pendidikan Islam…. Hal. 99
[13] Samsyul
Nizar, Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Kencana: Jakarta, 2008), hal 60
[14] Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab (Malang: Misykat, 2012) hal.25
Komentar
Posting Komentar