ACEH 2025 1446 H dan Mimpi Menjadi Penulis

Senja yang kutatap masih sama, tetap elok, meski kabut menutupi pesonanya. Aku juga masih orang yang sama, gadis yang kemana-mana selalu menjejalkan tas ransel, sedikit pun tak peduli pada keadaan. Membawa tumbukan buku yang sewaktu-waktu bisa markir bebas untuk sekedar membaca buku dimana saja, karena mimpiku masih bertumpuk.

Menjadi seorang penulis, ya sangat ramai yang bertanya "kapan mulai punya cita-cita jadi penulis?" aku santai menjawab "Sejak pertama mengenal huruf". Tidak ada yang lebih menarik selain mengejar mimpi untuk masa sekarang, jangan tanyakan kabar perasaanku, aku sama sekali tak memiliki rasa pada siapa pun sekarang, walau beberapa mencoba mengetuk pintu hatiku.

Kemarin saat menghadiri bedah buku "ACEH 2025 M 1446 H" semangat menulisku begitu terpacu, imajinasiku melewati batas. Ah, begitu keren ditambah lagi pembedahnya Dosen Hukum Pidana Islam, Pak Kamaruzzaman yang menjelaskan secara teori dan ilmiah pendapatnya. "ACEH 2025" ditulis dalam kurun waktu 4 tahun 2010-2014. Imajinasi penulisnya menembuh batas, berada di atas rata-rata. 

Penulis menguraikan khayalan dan impiannnya tentang Aceh di masa depan. "Revolusi Putih" di bab pertama buku tersebut persis seperti apa yang kuimpikan. Tentang Aceh, manusia modern. Luar biasa menakjubkan imajinasinya Aceh dalam buku tersebut akan memiliki 3 rute kereta api Banda Aceh-Meulaboh-Singkil, Banda Aceh-Lhosemawe-Singkil, Banda Aceh-Takengon-Singkil.

Menurut Pak Kamaruzzaman ada peristiwa besar yang terjadi pada Thayeb Loh Angen hingga imajinasinya menembus bion. Jelas aku sangat setuju dengan pendapat tersebut, kira-kira di awal September aku kenal dengan seseorang, ketika aku sedang asyik membahas tentang buku "Langit Tak Selalu Biru", seseorang itu menyela, ia menceritakan bahwa menulis sebuah buku. Kami mendengar baik-baik penuturannya tentang isi bukunya, begitu kagetnya kami saat mendengar imanjinasi dalam cerita tersebut, imajinasinya juga menembus bion. Usut punya usut, suatu hari seseorang teman berbaik hati menceritakan kejadian yang dialami oleh seseorang itu hingga ia mampu berpikir di atas rata-rata.

"Terkadang para sastrawan bisa membaca bahasa simbolik" Pak Kamaruzzaman.

Beberapa tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku kelas 1 MTsN, guru saya mengatakan imajinasi sastrawan dulu benar-benar terjadi, seperti Ebiet G. Ade menciptakan lagu "Berita Kepada Kawan" sekarang itu bisa dibuktikan dengan kejadian Tsunami Aceh.

cover novel "ACEH 2025 1446 H"
Tapi sayangnya, kemarin aku tidak bisa mengikuti acara bedah tersebut sampai habis karena harus masuk kuliah. 

Aku mengutip kata Thayeb Loh Angen "Apakah khayalan kita harus dibatasi?" dan "Boleh hidup di negeri yang buruk, namun khayalan tetap harus baik."

Ah, mimpiku menjadi penulis semakin menjadi.

kapan-kapan saya akan cuap-cuap lagi disini :) doakan saja agar saya bisa mengikuti bedah buku "Atjeh Bak Mata Donya" karya Hasan Tiro agar saya bisa cuap-cuap lagi di sini :D

Banda Aceh, 28 Oktober 2015
Salam hangat,

Mira Randikal

Komentar

Postingan Populer