Pelangi Setelah Hujan
Ambulan
telah hilang dari pandanganku, berlalu pergi membawa ayah ke Langsa untuk
berobat, ibu ikut menemani ayah. Rasa sedih muncul dalam hatiku, terbayang
tubuh ayah yang dulu kekar kini penuh belalai menempel ditubuh ringkih nan tua
itu.
Aku masuk ke dalam rumah, kulirik
jarum jam, tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 04.00 Wib, kuambil wudhu,
kulaksanakan shalat tahajud, selepas itu kukirim doa untuknya. Usai berdoa, kuambil
mushaf, kulantun syair cintaNya penuh kekhuyukan. Airmata terus mengalir.
Wajah ayah terus terbayang di
pelupuk matakku, kulantunkan terus Surah Ar-Rahman, perasaanku benar-benar
kacau. Lalu kubenamkan diri dibalik bantal,
isak tangis kian terdengar dari bibirku. Pintu kamarku terbuka, berdiri
sosok wanita berumur 23 tahun, berjalan mendekat ke arahku.
“Sudahlah,
Dik. Jangan menangis lagi, doakan saja agar ayahmu sembuh” ucapnya sambil
memelukku.
Tangisku pecah, kupeluk erat Kak
Nadien, ia membelai kepalaku. Airmatanya jatuh basahi bajuku. Kuangkat
kepalaku, Kak Nadien dengan cepat menghapus airmatanya. Dia menggelengkan
kepala sambil menatapku.
“Kakak
baik-baik saja, Dik. Kau harus kuat.” Lirihnya.
***
Keesokan sorenya, Kak Nadien pulang
dari kantor, ia pulang lebih awal dari biasanya. Raut mukanya terlihat berbeda,
aku mengerutkan kening. Kuletakkan buku pelajaranku dan berjalan menuju Kak
Nadien.
“Syauqi
mandi sekarang ya. Udah shalatkan?” Katanya.
“Hah?
Mau kemana kak? Syauqi udah shalat kok.”
“Udah
ah, mandi dulu sana, ntar kakak kasih tau.”
Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi
dengan kepala penuh tanda tanya. Apa yang terjadi? Tidak biasanya Kak Nadien
seperti ini. Usai mandi, aku duduk di ruang tamu sambil melihat resep kue di
majalah. Sesuatu muncul dalam hatiku. Entah apa namanya? Akupun tak tau.
Kupandangi foto keluarga kami yang terpajang di dinding kayu rumahku. Apakah ada
hubungannya dengan ayah? Apa ayah baik-baik saja? Bagaimana keadaan ibu dan
adik-adik? Hatiku gelisah tak menentu.
Kak Nadien muncul dari balik pintu,
ia tersenyum ke arahku, aku tau itu senyum dipaksakan, hati ini makin tak
karuan. Aku mencoba membalas senyumnya. Di pelupuk matanya masih terlihat jelas
bekas tetesan air mata. Gerangan apa yang membuatnya menangis? Aku tak pernah
melihatnya menangis, dia wanita yang periang.
“Oh
ya, Dik. Kakak lupa bilang bahwa nanti malam Syauqi pulang ke Sigli ya. Yuk,
kakak bantuin Syauqi packing.” Katanya sambil menarik tanganku menuju kamar.
Janggal. Kenapa pulang kampungnya
tiba-tiba? Berbagai pertanyaan terus muncul dalam hatiku. Aku belum menemukan
jawaaban dari semua pertanyaan. Kak Nadien gesit menyiapkan keperluanku untuk
pulang kampung. Aku hanya terpaku menatapnya dari pintu.
Usai membereskan semuanya, Kak
Nadien menarik tanganku bergegas pergi ke suatu tempat. Dia mulai menghidupkan
motornya, terus berjalan, melewati bangunan tinggi kota, jalanan hari ini
terlihat lebih ramai dari biasanya, muda-mudi riang ketawa sambil bergandengan
motor.
Di ujung jalan sana telah berdiri
sebuah caffe yang menghadap ke pantai, ombak terlihat saling berkejaran, angin
lembut membelai wajahku, seolah ia tau suasana hatiku sekarang. Aku berjalan
mengikuti Kak Nadien, kami duduk di sebuah pondok. Seorang pelayan mendekat
sambil menyodorkan daftar menu makanan.
“Baik,
Kak. Saya pesan Ayam Bakar 1, Jus Pukat 2, es buah pakai sambal kacang 2 porsi
dan nasi kuning 2 porsi.” Kata Kak Nadien
“Kakak
pesan makanannya banyak banget.”
Matahari sebentar lagi akan kemballi
ke peraduannya, semburat jingga mulai terlukis di atap tak bertiang. Kak Nadien
memanggil pelayan, memintanya untuk membungkus makanan yang tidak habis.
Makanan itu memang terlalu banyak. Setelah pelayan menngantarkan bungkusan, kamipun pulang.
***
“Nadien,
sudah siap?” tanya Bang Thariq pada Kak Nadien.
“Udah,
bang.”
Sebuah mobil L300 terparkir di
halaman rumah, mobil yang akan membawaku pulang ke Sigli. Kak Nadien sekali
lagi gesit memasukkan segala keperluan ke bagasi mobil. Aku melirik Bang
Thariq, kulihat ada setetes air mata di wajahnya. ‘Ya ALLAH ada apa ini?
Semuanya terasa begitu aneh’ lirihku.
Kak Nadien tak lupa memasukkan
bungkusan makanan tadi sore ke dalam tas ranselku. Setelah semuanya selesai,
aku dan Bang Thariq masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan kota ini.
***
Seminggu sejak
meninggalnya ayah telah berlalu, aku, ibu dan adik-adik kembali ke kota kami.
Kesedihan karena meninggalnya ayah masih tersisa di hati, aku merasa ini
seperti mimpi, aku masih tak percaya. Kesedihan itu kian bertambah mengingat
pada saat ayah akan dibawa ke Langsa, aku tak sempat berbicara untuk terakhir
kalinya. Ah, toh tiap-tiap yang bernyawa
akan merasakan mati.
Malam ini, aku duduk sendiri di
bawah kaki langit, kutatap bintang ynag bertaburan di langit sana. Aku tau akan
ada pelangi setelah hujan, harapanku untuk bisa hidup tanpa ayah itu ada. Aku
tak boleh seperti ini terus, larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Aku
harus bangkit demi adik-adik dan ibu.
Pekerjaan ibu sebagai pedagang
kecil-kecilan tak membantu perekonomian kami. Aku bertekad “Aku harus membantu
ibu”, untuk bekerja memang tak mungkin untuk usiaku yang baru duduk di bangku
SMP, aku harus belajar, prestasiku harus meningkat.
Semenjak itu aku terus belajar. Bukan
hanya belajar sebagai seorang pelajar, tetapi belajar banyak hal, aku belajar
menjadi kepala keluarga, belajar untuk bersabar dan ikhlas.
Kini sekolah mempercayai banyak hal
padaku, aku sering diutus untuk mengikuti pelbagai perlombaan, Alhamdulillah dengan itu aku dapat
mencukupi keperluan rumah tangga, hasil dari menang lomba.
7
tahun berlalu ...
Usiaku kini genap 20 tahun. Usaha
orderan kue yang kubuka mulai sejak SMA berjalan sangat lancar, semua rizqi
yang Allah berikan dapat melebihi kebutuhan ekonomi kami. Esok aku akan
meresmikan “Backery Shop” yang pertama. Aku bersiap-siap dibantu oleh Kak
Nadien, ibu dan adik-adikku. Ah, ya! Mereka telah beranjak remaja sekarang.
Rani kini duduk di kelas 2 SMA, sedangkan Hadi kelas 3 SMP.
Aku berjalan menuju dapur, memastikan
semua keperluan besok sudah selesai. Ibu sedang duduk disana mengangkat kue
yang baru saja matang dari oven. Kak Nadien muncul dari dapur belakang. Ia
mengerutkan kening melihat ke arahku.
“Syauqi,
mukamu kusam sekali, kamu pakai Natur-e sana biar bersih.” Kata Kak Nadien.
“Baik,
kak.”
“Kalau
mukamu gitu bisa-bisa sponsor dan pelangganmu tak terpikat lagi.” Kata Kak
Nadien bercanda.
Waktu terus berlalu, usahaku semakin
membaik dan berkembang. Aku mulai membuka cabang di daerah lain. Sampai saat
ini telah ada 16 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.
THE END
Komentar
Posting Komentar