Misteri Si Pendiam

Sekolah pagi ini tampak begitu sepi, aku berjalan sendirian di koridor. Kelelawar tidur bergantung di pohon cemara. Kemudian aku belok ke arah kanan. Sesosok pria menggunakan jaket hitam duduk di belakang jok sekolah sambil menangkupkan kedua tangannya dimuka.
            Aku berjalan mendekatinya. Menunduk ke bawah, hendak melihat wajahnya. Lalu kusentuh pundaknya, dia mengangkatkan kepalanya melihatku. Aku sama sekali tak kenal dengan sosok itu. Apa mungkin dia anak baru? Tanyaku dalam hati.
            Dia menatapku, lalu menoleh ke arah yang lain.                         
“Hei, kau anak barukan? Bolehkah aku tau namamu siapa?” tanyaku sambil berusaha menjaga intonasi suara.
            Dia tak menoleh sedikitpun. Ia kembali menunduk sambil menangkupkan tangannya ke wajah. Aku mencoba memikirkan apa yang harus kulakukan agar perkenalan ini mengasikkan.
“Kau suka Ice Cream?” tanyaku lagi.
            Dia diam seribu bahasa, tak menoleh. Aku merasa seperti tak dihargai, tetapi aku harus bersabar, kata orang pengenalan pertama itu harus bagus.
“Kau mau ke taman?” tanyaku lagi.
            Sekali lagi, dia tetap tak menjawab. Aku diam seribu bahasa menatap anak baru yang super aneh ini. Lalu dia mengangkat wajahnya. ‘Sepertinya dia kena jurus rayuanku’ pikirku.
            Pikiranku salah total. Dia malah berdiri dan lalu berjalan pergi meninggalkankku yang terpaku disini. ‘Oh, God. Kenapa harus ada manusia aneh di dunia ini?’ keluhku. Aku menatap siluet tubuhnya yang hilang entah kemana.
            Tangan seseorang menutup mataku. Gelap.
“Quintan, kau kah itu?” tanyaku kesal.
            Gelak tawa terdengar. ‘Dasar quintan!’ kataku.
“Apa yang kau lakukan disini, nona manis?” Tanyanya.
“Gue penasaran dengan anak yang tadi duduk dibangku itu”
“Siapa?” Tanyanya penasaran.
“Sepertinya anak baru,” jawabku sekenanya.
“Ha?”
“Iya. Ntar kita selidikin tentang dia. Oke?”
“Oke” jawabnya mantap.

            Aku dan Quintan berjalan hendak menuju kantin. Aku mencari-cari sosok pria yang tadi pagi membuatku merasa sial. Sosok pria yang aneh, pendiam, ditanya malah diam.
            Kelelawar masih terlelap dalam tidurnya. Aku dan Quintan sama-sama menyukai kelelawar. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa menyukai kelelawar? Apa ini karena aku terlalu banyak membaca novel bergenre horor.
            Sosok itu kembali terlihat. Aku menarik tangan Quintan menunjukkan padanya sosok yang kuceritakan tadi.
“My bebe lophe, kita duduk disana yuk?” tanyaku sambil menunjuk ke arah pria aneh itu.
“Gila loe!” bentak Quintan.
“Ayolah” bujukku.
“Enggak ah, aku gak mau”
“Quintan manis, ayolah”
“Enggak, pokoknya enggak”
“Loe nggak sayang sama gue?”
“Bukannya gitu”
            Tanpa mempedulikan jawaban Quintan. Aku lalu menarik tangan Quintan, berjalan ke arah sosok itu. Tinggal beberapa langkah lagi.
“AWWW” teriak Quintan.
            Aku menoleh ke belakang. Tangannya berdarah. Aku lalu menariknya dan menyuruhnya duduk di depan meja sosok pria tadi. Semangkuk puding labu terhidang dihadapannya.
“Numpang ya” ujarku.
            Dan itu terjadi lagi. Ia bangkit dari duduknya, berjalan ke belakang sekolah. Aku mengikutinya sambil sesekali sembunyi dibelakang tiang jika ia menoleh kebelakang. Rasa penasaranku semakin membuncah.
            Pria itu telah duduk di sebuah kursi yang terlihat begitu kusam. Tempat ini sudah lama tak terurus semenjak kematian penjaga sekolah dengan darah yang berceceran.  Ia seperti sedang berbicara dengan seseorang. Tetapi tak ada orang disana, dia sendiri. Darimana ia tau tempat ini?
            Awan hitam bergumpal-gumpal menutupi langit. Suasana gelap seketika. Pria itu masih berbicara, tetapi dengan siapa? Apa ia berbicara sendiri?. Rasa penasaranku sudah terlalu tinggi, aku berjalan mendekat, mencoba mendengar.
“Kau jangan menganggu temanku” katanya
            Ha? Apa ia tak waras? Pikirku. Aku berjalan semakin mendekat. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah.
“DUUMPPP!!!”
            Tanpa sengaja tanganku menyenggol vas bunga. Keping-keping potnya bertabur dilantai. Pria itu menoleh ke arahku. Aku menatapnya dengan perasaan bersalah. Dia berjalan ke arahku. Petir terdengar menyambar begitu kuat.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanyanya.
“Hmm...eee....aa.......” jawabku gelegapan.
“Namaku Wandi. Namamu?”
“Sherly”
            Aku melihat ekspresi wajahnya, tak ada guratan kemarahan disana. Dia lalu menarik tanganku dan duduk disampingnya.
“Kau penasaran denganku?” tanyanya.
“...” diam.
“Maafkan aku atas sikapku tadi pagi. Maukah kau berjanji satu hal padaku?” tanyanya.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Kau janji takkan mengatakan pada siapapun bahwa aku indigo. Tadi pagi aku melihat sosok itu dibelakangmu makanya aku tak mempedulikanmu. Sekali lagi maaf," katanya dengan sedikit mengecilkan suara. "Kau tentu melihatku berbicara sendirian tadi. Dan kau pasti berpikir bahwa aku 
 gila. Kau harus tau aku baru saja berbicara dengan makhluk dibelakangmu tadi" lanjutnya.
           Aku diam sambil mengatupkan bibirku mendengar pengakuannya.

THE END


Salam hangat, 

Mira Randikal :)




Komentar

Postingan Populer