Fanfic "The Destiny (Takdir)"

Apalah arti memiliki
Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?

Apalah arti kehilangan,
Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan,
dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?

Apalah arti cinta,
Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? 
Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati 
atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?

Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan?
Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu?
Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja
-     Tere Liye -
“The Destiny”
Rated                    : T
Genre                   : Love, friendship
Disclamer            : Masashi Kishimoto       
Oleh: Mira Randikal
Gerimis perlahan turun, aku mengembangkan payungku agar tidak basah saat pulang. Rumah sakit terlihat begitu lenggang. Aku lalu memakai mantel hujan. Usai merapikan jas hujan, segera kaki beranjak pulang.
                Jalanan  Kota Konoha mulai basah oleh guyuran hujan. Mataku melirik pada sepasang muda-mudi yang sedang menikmati kopi di depan sebuah cafee. Ah, khayalanku kembali dimulai. Andai saja aku di sini bersama seseorang di bawah rinai hujan, tentu amat menyenangkan. Sejak SMA, kuliah sampai sekarang sudah menjadi seorang dokter aku masih menyandang gelar jomblo. Beberapa temanku sudah menikah bahkan ada yang sudah punya anak, Ino misalnya, semenjak menikah dengan Itachi 3 tahun yang lalu sudah memiliki 2 orang anak perempuan yang imut.
                Aku merapatkan jas hujanku, udara semakin dingin. Ada beberapa lelaki mendekati, satu pun tidak kupedulikan, termasuk  Sasuke. Orangtua dan keluarga besarku berkali-kali menjodohkanku dengan seseorang, tapi satu pun tidak ada yang benar-benar sampai ke pernikahan denganku. Sampai-sampai ada mengiraku bahwa aku memiliki kelainan. Oh No!!!
      tissue, Ino yang saat itu sedang bersamaku tertawa terpingkal-pingkal. Aku seperti orang bodoh, padahal jelas-jelas dia tidak mempedulikanku sedikit pun.
          Sebenarnya dulu ketika masih kuliah di Paris, aku bertemu dengan seseorang yang membuat jantungku berdetak terus menerus. Aku sendiri bingung saat itu, wajahku memerah seketika. Aku menutup wajahku yang mulai memerah dengan
                Seseorang yang memiliki rambut silver. Dia telah membuatku diet alami, merasa kenyang padahal aku jelas-jelas aku tidak memasukkan apapun ke dalam mulut. Ah, tapi ini yang tidak menarik dari kisah cintaku dengannya, aku bagai punguk yang merindukan bulan. Dia jelas-jelas tidak melihatku, ini seperti cinta diam-diam. Sudahlah ini bagian yang tidak ingin kuceritakan.
                Sebelum aku melanjutkan ceritaku tahap selanjutnya, perkenalkan namaku Haruno Sakura dan aku memiliki gelar “dr.” di depan namaku. Aku adalah dokter ternama (kata orang) di sebuah rumah sakit ternama Konoha. Sebenarnya, dulu saat aku baru saja menyelesaikan coast ada sebuah rumah sakit ternama Tokyo menawarkan pekerjaan padaku, tetapi aku menolaknya dengan alasan ingin berbakti pada daerah, Lol :D . Itu bukan alasan yang jujur, alasannya adalah aku bosan di Tokyo karena setiap hari aku akan bertemu dengan Si Pantat Ayam, siapa lagi kalau bukan dr. Uchiha Sasuke. Hal paling sial di dunia ini adalah karena kami memiliki gelar yang sama. ‘Dasar Uchiha!’, umpatku dalam hati.
                Dulu sekali, aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang dokter dan mengabdi pada masyarakat. Saat kecil aku selalu menanti hujan turun di samping jendela lalu menggambarkan mimpiku pada kaca berembun. Aku melukis sebuah bangunan dan setiap hujan aku menggambarkan bangunan yang berbeda. Tetapi aku harus mengalah pada takdir, ia menempatkanku di sini bersama orang-orang berseragam putih.
                Beberapa tahun yang lalu, aku selalu berusaha menguatkan hati dan diriku untuk tetap berangkat ke Paris dan kuliah di jurusan kedokteran. Butuh waktu lama untuk bisa ikhlas menerima segalanya. Meskipun, di malam-malamku selanjutnya di Paris harus tidur bertemankan air mata. Bisa dibayangkan sendiri di negeri orang , melanjutkan kehidupan yang berbanding terbalik dengan keinginan. Walaupun belajar di Paris adalah mimpiku, namun jurusan itu yang membuatku berat.
                Setiap aku menelpon mama, beliau selalu bertanya tentang hatiku. Beliau selalu memberiku nasehat untuk ikhlas, papa pun juga melakukan hal yang sama seperti mama (meskipun tidak sekhawatir mama). Duh, kalau cerita bagian ini jadi mewek sendiri di kamar :P hiks, ini miris pemirsa L maafkan saya :’( lupakan!
                Setelah sekian bulan aku bertemankan sepi di Paris akhirnya takdir mempertemukanku dengan si penganggu tidurku-Yamanaka Ino. Ino- setiap pagi selalu menjelma seperti majikan yang galak, setiap pagi hobby sekali menganggu tidurku. Meskipun ia memiliki kisah cinta yang menarik bersama salah satu keturunan Uchiha. Aku kerap iri menyaksikan keromantisan Itachi terhadap Ino, Uchiha Itachi begitu rajin setiap pagi mengirimkan setangkai mawar merah ke kost-an Ino. Aku hanya bisa menahan iler setiap kali menyaksikannya secara langsung. Kalian tidak akan pernah percaya bahwa Ino akan mendapat perlakuan romantis seperti itu jika melihat tingkah aslinya.
                Ino dan Itachi-menurutku adalah pasangan yang aneh. Yang satu romantis dan satu lagi jaim banget. Hahaha. Pemirsa, mereka itu udah dekat dari semenjak SMA. Aku terpingkal-pingkal ketawa ketika Ino menceritakan kisah cintanya dengan anak pertama keluarga Uchiha itu. Itachi- berbeda jauh-dengan si Pantat Ayam.
                Pantat Ayam begitulah aku menyebutnya- karena memang rambutnya mirip pantat ayam. Beberapa bulan lalu ia datang mencoba mengetuk pintu hatiku dan masuk ke dalam hidupku- melalui orangtuaku. Dan tentu, tanpa pikir panjang aku langsung menolaknya. Lalu bulan-bulan berikutnya leluargaku mencoba menjodohkanku dengan orang-orang terbaik (tentunya) dan tetap aku tidak bersama mereka. Karena di sana, ada nama seseorang yang terukir indah dan kujaga agar tetap utuh selama bertahun-tahun.
                Air mataku berbaur dengan air hujan yang jatuh dari langit. Payung. Tentu itu menjadi pertanyaan kalian. Bukankah tadi aku mengembangkan payung? Benar sekali, tetapi tadi ketika aku sedang sibuk menceritakan semua yang ada dihatiku pada kalian, gerombolan anak-anak begitu mudah menarik payung dariku dan berlari sambil menjulurkan lidah. Tentu saja aku tidak sadar saat anak-anak itu mengambil payungku, karena pikiranku lari ke suatu tempat-Paris.
                Sekarang, usiaku memasuki 29 namun hatiku masih utuh menjaga sebuah nama. Jangan tanyakan kenapa aku begitu menjaganya, because i dont have a reason for it.  ‘Ketika kanak-kanak meminta dewasa- dan ketika dewasa meminta kembali seperti kanak-kanak’.
                Lampu-lampu rumah mulai dihidupkan, suasana sore itu mencekam. Guntur bersahut-sahutan. Tubuhku menggigil seketika, kepalaku terasa pusing, kunang-kunang menari di kelopak mataku.
                Aku terkejut, seorang pria berambut silver berjalan ke arahku. Ia tersenyum- senyum pertamanya. Ia menatapku lama sekali dan kemudian ia berjalan mendekat, mengenggam tangan yang mulai mendingin. Sorot matanya tajam seperti elang. Di menit selanjutnya langkah kaki kami menuju sebuah tempat. Aku sama sekali tidak mengenali tempat itu. Tempat yang damai dan tenang. Menyihirku.
                Kami duduk di atas hamparan rumput yang bersih. Beberapa burung terbang riang, sekelompok lebah datang merayu bunga-bunga muda yang mulai bermekaran. Sebuah lengkung ke atas terbentuk di bibirku.
Andai aku bisa, aku tak ingin waktu berhenti.....
                Sebuah benda menimpukku, aku mengerang kesakitan.
“Sakura, kau telah sadar?”
“Sasu...ke. Sakura sadar!”
                Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku terasa pusing sekali. Si Pantat Ayam tepat dihadapanku memeriksa denyut nadiku.
“Huh, dasar! Jadi tadi cuma mimpi,” erangku.
“Dasar Pinky!”
“Err...rrr. Ino, kenapa aku bisa di sini?”
“Dasar kau dokter pemberi nasehat. Kau hanya memberi nasehat untuk pasienmu, sedang kau sendiri pulang kehujanan. Tadi saat pulang kantor, Itachi dan Sasuke melihatmu pingsan di depan sebuah toko lalu mereka membawamu ke sini.”
“APAAAA??? Aku pingsan? Oh No! Ini memalukan Ino,” teriakku.
“Dasar kau baka, kau ini sedang sakit sempat-sempatnya berteriak.”
“Ino, bagaimana aku mengembalikan imaje-ku. Oh tidaaakkk! Ino bantu aku.”
“Bagaimana aku bisa membantumu dokter keras kepala?”
***
                Ini tradisiku setiap malam jika aku tetiba bangun dari tidur di malam hari ; menatap lekat-lekat jas dokterku. Kalian akan menemukan seorang gadis berambut pink menangis tersedu di kamarnya. Ini sudah lebih 10 tahun semenjak takdir itu datang padaku, tetapi mengapa masih ada protes di batinku? Mengapa begitu berat untuk ikhlas?
                Aku masih tak percaya bahwa takdirku mengenakan jas putih lalu mendengar keluh-kesah orang banyak tentang penyakitnya dan kemudian memberikan solusi untuk kesembuhan mereka. Mengapa ikhlas tak benar-benar hinggap di hatiku meskipun aku telah membantu menyembuhkan banyak orang dan tak terhitung sudah berapa kali aku melakukan operasi?

                Air mata terus membasuh muka. Dada terasa sesak kembali dan saat seperti itu aku benar-benar membutuhkan hujan sebagai penghapus segala kesedihan ini. Tak ada yang benar-benar tahu seperti apa luka yang menganga di hati (termasuk mama), dulu aku berusaha menguatkan diri bahwa ada hikmah di balik semua takdir ini. Namun sampai detik ini, aku belum menemukannya walau setitik.
                Mata belum ingin terpejam. Menelisik gambar-gambar di dinding kamarku (harusnya gambar ini kumusnahkan sejak 10 tahun yang lalu). Aku memiliki cita-cita ingin menjadi seperti papa, menggambar rumah lalu mengukur skala kekuatan bangunan. Dulu, aku begitu rajin menggambar bangunan dimana saja, entah di kaca berembun, di pasir pantai yang basah.
                Mimpi menjadi seorang arsitektur begitu melekat di dada. Menyenangkan melihat papa berkutat dengan pekerjaannya. Dokter? Aku tak pernah bermimpi menjadi dokter, ini adalah saran mama. Aku sendiri bingung mengapa mama menyarankan ini padaku, padahal mama merupakan seorang desainer.
                Sampai detik ini aku selalu berharap agar aku diberi kekuatan dan keikhlasan menjalani hidup. Malam kian beranjak menjemput pagi, ah aku tak peduli, aku takkan telat esok karena ada 2 orang yang akan berteriak membangunkanku – Mama dan Nyonya Itachi.
                Dddrrrr....
                Handphoneku bergetar. “Siapa pula yang mengirim pesan untukku tengah malam seperti ini?,” gumamku.
Bunga yang selalu bermekaran di sudut hatiku- tak peduli di musim semi ataupun bukan.
Sore kemarin, saat aku melihat bunga idamanku layu di jalan, aku merasa semuanya hambar dipikiranku hanya ada bagaimana kabar bungaku? Apakah ia telah mekar kembali? Atau malah semakin layu?
Bunga idamanku, meski hadirku tak pernah kau harap, meski kau menolak saat aku meminta untuk masuk ke dalam kehidupanmu. Dirimu akan tetap menari-nari di pikiranku.
Kuharap seekor lebah akan segera datang dan menjagamu, agar aku tak perlu resah memikirkan tentangmu di sini.
Jagalah dirimu baik-baik, Sakura
            Keningku berkerut seketika, ‘apa-apaan ini?’ umpatku dalam hati. Dasar pantat ayam, sok peduli. Aku ingin waktu berhenti agar di waktu selanjutnya ia takkan menganggu ketenanganku lagi. ‘Mengapa ia terus menganggu hidupku?’ keluhku. Tetiba aku mengingat sesuatu.
Kuharap seekor lebah akan segera datang dan menjagamu
            Aku mengaminkan dalam hati. Dalam hati berharap bahawa lebah itu adalah seseorang berambut silver yang pernah kulihat di Paris beberapa tahun yang lalu. Ah, mengapa hatiku seperti ini? Begitu yakin bahwa seseorang yang akan mendampingiku kelak adalah dirinya. Padahal, jelas-jelas aku baru sekali melihatnya. Dan setelah itu aku tak pernah melihatnya lagi. Ada apa ini? Apakah kejiwaanku terganggu?
            Dddrrtt....
            Handphone-ku kembali bergetar.
            ‘Dasar pantat ayam! Menganggu malamku saja,’ umpatku dalam hati. Aku sedikitpun tak tertarik membaca pesannya. Si Pantat Ayam adalah si tuan sok perhatian, menurutku. Dia selalu menganggu hidupku dari jaman sekolah dulu.
I can't run anymore
I fall before you
Here I am
I have nothing left
Though I've tried to forget
You're all that I am
            Handphone-ku berdering. Siapa yang menelponku tengah malam seperti ini, pikirku. Dengan was-was aku pun menjawab telepon.
“Halo”
“Ya,” jawabku.
“dokter Sakura?”
“Ya”
“Tolong ke rumah sakit sekarang, Dok. Ada pasien kecelakaan yang harus dioperasi segera.”
            Aku langsung menutup telpon, mengganti seragamku dan memakai jas putih serta tas jinjing. Berlari menuju mobil dan segera mengemudinya sendiri. Inilah tanggung jawabku sebagai seorang dokter, harus stand by 24 jam, tidak peduli kondisi apa pun. Jantungku berdegup kencang, nafasku satu satu, gelisah menyelimuti hati. Ada apa ini? Mengapa aku gelisah seperti ini? Aku tak pernah mengalami perasaan seperti ini.
            Mobilku melaju cepat di atas jalanan yang licin. Konoha sepi. Toko-toko telah tutup sejak tadi. Tidak ada lagi pemandangan malam, suasana mencekam. Mobilku telah tiba di parkiran rumah sakit. Aku segera berlari menuju ruang operasi, memakai masker, seragam operasi, sarung tangan dan semuanya yang diperlukan. Seorang perawat membantuku menyiapkan perlengkapan operasi.
            Mataku menatap seorang pasien yang terbujur di atas tempat tidur. Darahku seakan berhenti mengalir, air mataku menetes, tubuhku tetiba tidak seimbang, seorang perawat membantuku berdiri.
“Dokter, apa kau baik-baik saja?”
            Aku hanya menganggukkan kepala. Andai saja aku bisa berteriak, tentu akan kulakukan. Aku akan menangis sekencang-kencangnya. Pantas saja hatiku begitu gelisah. Andai saja ada yang tahu isi hatiku. Aku mengumpulkan kekuatan dari sisa-sisa kerapuhan. Aku harus bisa melakukan ini, operasi ini harus berhasil.
            Kakinya patah, salah satu perawat memberitahuku. Aku hanya mengangguk, tidak bertanya penyebabnya, aku terus melakukan yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya. Darah terus mengalir dari hidungnya.
            2 jam berlalu, operasi belum juga selesai kulakukan. Aku butuh kekuatan, ingin segera keluar dari tempat ini, aku tak sanggup melihatnya dalam keadaan seperti ini, batinku terus memberontak. Seorang perawat menyapu keringat diwajahku. Sedikit lagi, aku akan selesai.
***
            Rinai hujan menyambut lembut datangnya pagi, aku menatapnya dari balik jendela rumah sakit, semalaman aku tidak tidur, cemas memikirkan keadaannya. Seorang perawat memberitahuku bahwa ia mengalami kecelakaan dalam perjalanannya dari bandara menuju rumah sakit tempatku bekerja, ada tugas yang harus ia selesaikan di sini.

            Aku mematut diri di depan kaca, mataku bengkak, semenjak keluar dari ruang operasi air mata terus mengalir dari kedua pelupuk mataku. Bisa kau bayangkan seperti apa rasanya menahan perasaan selama bertahun-tahun dan berharap dipertemukan dengan cara yang indah, namun kenyataan berbanding terbalik. Aku justru harus melihat sosok berambut silver itu terbaring tak sadarkan diri dengan darah yang terus mengalir dari hidungnya dan kakinya yang patah. Bisa kau bayangkan seperti apa rasa sakitnya aku ketika harus mengoperasi kakinya?
            Kakashi Hatake, seseorang memberitahuku nama lengkapnya. Seseorang yang beberapa tahun lalu membuatku merasa kenyang, padahal jelas-jelas aku tidak makan apa-apa saat itu, seseorang yang membuatku ditertawakan oleh Ino. Sekarang, setelah bertahun-tahun lamanya, aku harus melihatnya dengan keadaan seperti itu. Air mata terus mengalir dari pipi.
            Tok...tok.....
            Seseorang mengetuk pintuku.
“Buka saja.”
            Seorang perawat masuk ke dalam ruanganku dengan wajah cemas, dia menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannnya lagi.
“Dok...dok..., pasien se...ma...lam jantungnya tidak stabil bu,”
            Aku segera berlari menuju ruangan tempat Kakashi dirawat. Air mataku terus berjatuhan. Perawat tadi mengikutiku berlari dari belakang, berusaha menyeimbangkannya denganku. Aku segera membuka pintu kamarnya.
DUMP!
            Aku lupa apa yang terjadi setelah itu, ketika membuka mata aku telah berada di ruang UGD. Mama dan Ino menatapku cemas. Wajahku pucat pasi. Seorang perawat mengantarkan segelas teh hangat untukku. Mama menyuruhku minum, aku menggeleng. Aku berusaha bangun dari tempat tidurku, namun kepalaku terasa begitu berat. Dalam pikiranku hanya ada dia, pria berambut silver dengan mata elangnya.
            Berharap yang kulihat tadi adalah mimpi. Berharap segera terbangun dari mimpi burukku ini. Tetapi apa yang bisa kulakukan, ini adalah takdir hidupnya yang harus kusaksikan.
“Jika mereka bertanya, maka aku akan menjawab, ‘i dont have a reason for love him’. Tak kupedulikan cemoohan mereka tentangku yang akan hidup menua seorang diri tanpa cinta. Karena cintamu telah hidup dalam bathinku, kau adalah alasan mengapa aku ditakdirkan menjadi dokter. Langkahmu akan selalu mengiringi langkahku, kau tumbuh dalam hatiku dan bersatu dalam jiwaku, bersama kita melaksanakan tugas suci ini. Ikhlas, telah tertancap di hatiku keranamu-Kakashi Hatake.  –Sakuramu-”
***
 “Apalah arti memiliki
Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?

Apalah arti kehilangan,
Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan,
dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?

Apalah arti cinta,
Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?
Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati
atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?

Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan?
Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu?
Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja”
-TERE LIYE-






Komentar

Postingan Populer